Minggu, 20 Juni 2010

10 Pesawat Tempur Legendaris













Mig - 21


AM Zero Mitshubishi














UCAV















Stealth












F-86 Sabre












P- 51 Mustang










Messerschmitt












Spitfire













Three Wing Fokker














F-18 Hornet











Berikut ini adalah daftar pesawat-pesawat tempur yang paling terkenal dan ditakuti pada masanya.

1.Three Wing Fokker:

Pesawat ini adalah andalan para penerbang Jerman selama perang dunia pertama. Pesawat legendaris ini dipercaya mampu menyulap pilot yang biasa-biasa saja menjadi seorang Ace. Pesawat ini pulalah yang mengabadikan nama Baron von Richthofen sebagai the Red Baron, yang menghantui tentara sekutu hingga tahun 1918.

2. Mitsubishi Zero:

Pesawat fighter jarak jauh miliki Jepang ini didesain untuk memiliki kecepatan dan kemampuan manuver yang tinggi. Bodi alumuniumnya sangat ringan hingga mampu berkelok dan menukik lenih baik dibandingkan dengan pesawat-pesawat lain di era perang dunia kedua. Mitsubishi Zero adalah senjata pamungkas para pilot kamikaze, skuadron bunuh diri Jepang.

3. Messerschmitt:

Messerschmitt adalah senjata andalan Jerman dalam pertempuran-pertempuran terbesar selama perang dunia kedua. Pesawat ini adalah momok bagi Royal Air Force, angkatan udara kerajaan Inggris. Kecepatan super yang dimiliki Bf 109, tidak tertandingi oleh pesawat manapun selama Battle of Britain. Bf 109 juga merupakan peswat tempur pertama yang menggunakan retractable landing gear.

4. Supermarine Spitfire:

Supermarine Spitfire adalah peswat yang menghantarkan pasukan sekutu memenangi perang dunia kedua. Peswat mungil dan cantik ini amat digemari oleh para pilot sekutu dalam berbagai pertempuran selama perang dunia kedua.

5. P-51 Mustang:

Walaupun baru muncul diakhir perang dunia kedua, P-51 Mustang mampu membuktikan diri sebagai salah satu pesawat elit. Dilengkapi dengan mesin Rolls-Royce, membuat P-51 Mustang memiliki daya tempuh dan kecepatan yang tinggi. P-51 Mustang telah berhasil mendongkrak prestasi pilot-pilot Amerika jika dibandingkan dengan pesawat-pesawat lain.

6. F-86 Sabre:

Berkat teknologi yang dicuri tentara Amerika dari Luftwaffe (angkatan udara Jerman), larhirlah sebuah pesawat tempur legendaris bernama F-86 Sabre. Peswat ini memiliki moncong berlubang yang mirip dengan moncong seekor hiu yang sedang menganga. Kemampuan membunuh peswat ini dibuktikan selama perang Korea.

7. MiG-21:

Bagi sejumlah anggota angkatan bersenjata Amerika, pesawat ini adalah simbol komunisme dan perang dingin. Peswata supersonic miliki Uni Sovyet ini pertama kali beraksi dalam perang Vietnam. Peswat ini menjadi favorit bagi negara-negara blok timur karena biaya produksinya yang rendah.

8. F-18 Hornet:

F-18 Hornet adalah peswat yang paling populer dalam berbagai film aksi ala Holywood. F-18 Hornet adalah peswat kesayangan angkatan udara dan laut Amerika Serikat sejak tahun 80-an. Para pilot menyukai ketangguhan dan kelincahan peswat ini.

9. Stealth Bomber:

Stealth Bomber adalah pesawat siluman yang tidak dapat terdeteksi oleh radar. Peswat ini didesain untuk memantulkan gelombang radar dan menghancurkan target sebelum terdeteksi. Peswat ini telah berjasa menghantarkan Amerika memenangi sejumlah pertempuran di timur tengah.

10. UCAV:

Peswat ini didesain sebagai peswat tempur masa depan. UCAV adalah singkatan Unmanned Combat Air Vehicles, peswat tempur tanpa awak. Dengan teknologi ini, diharapkan korban yang jatuh dalam suatu pertempuran dapat berkurang. Tanpa menggunakan pilot, biaya produksi pesawat ini dapat ditekan, karena tidak memerlukan panel kontrol, kokpit, atau kanopi.

B-25 Mitchell
Negara asal : Amerika Serikat
Jenis : Pembom ringan
Akomodasi : 6 awak pesawat
Sejarah
Tahun 1950 : Kekuatan Skadron I yang berfungsi sebagai pembom, penembak, foto dan transport

info lengkap : http://en.wikipedia.org/wiki/North_American_B-25_Mitchell

Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali





Suwandi Sudjono
Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur

1961, dia menjemput dua pesawat Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded.


M-1625 TERAKHIR - M-1625 adalah Tu-16 terakhir yang diterbangkan./Foto: Dok. Suwandi

Seperti sudah menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis, Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003.

Marsma (Pur) Suwandi Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970, menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X 1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU, Jatiwaringin.

Diselimuti rahasia

Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei 1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang di dadanya sebagai penerbang TNI AU.

Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan, wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa besar daya deterent-nya (bagi Barat). "Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan membawa pulang Tu-16 dengan selamat," tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4 April 1936.

"Padahal saya masih ko-pilot," katanya lagi. Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot (B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25, bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat.

Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign "Thunder Jet" dan Sumarno "Thunder Bird" berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai. Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan Suwandi dengan Saroso. "Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa," kata Suwandi.

Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program, terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia. Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke Indonesia.

Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat, ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap membawa Tu-16 ke Indonesia.

Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. "Ini khasnya intelijen," jelas Suwandi.

Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara AU Uni Soviet. "Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya. Membingungkan sekali." Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam, Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia. Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno M-1602. Pilotnya orang Rusia.

Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut. Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar. Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.

Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan, hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat Barat.

Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo. Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? "Kami disuruh ke Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang airline," jelas Suwandi senyum.

Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk sebagai ko-pilot.

Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini, mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm) Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan Masulili.

Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.

Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16, sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.


Last flight - Sebelum terbang terakhir semua crew menyempatkan foto bersama./Foto: Dok. Suwandi




Jatuh di ladang tebu

Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan. Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya, keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, "Dengan beraninya kita fly over di atas mereka," aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?

Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini "berani" menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.

Yang paling mencekam dan hampir merenggut nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur. Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia. "Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam," jelas Suwandi.

Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat dalam kondisi siap diterbangkan.

Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah kanan mati. "Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed," tutur Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam jurang kecil yang menganga di ujung landasan.

Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB). Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30 ton itu ikut-ikutan mati.

Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun secara drastis. "Mau loncat, pesawat terlalu rendah," kata Suwandi. Akhirnya instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar bisa mendarat secepat mungkin.

Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu menjelang landasan. "Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam, saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi" akunya. Apakah pesawat meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. "Beberapa detik sebelum jatuh, roda saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi," tutur Suwandi lagi.

Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya (nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.

Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, "Ndi, kon isih urip." Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. "Aku isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo," jawab Suwandi.

Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di sebelahnya. "Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa bernapas," kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya, Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. "Dia tidak beraksi, saya yakini dia tewas."

Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner, mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, "Berarti badan pesawat amblas ke dalam tanah." Langsung saja dia mengambil sikap sempurna, memberi hormat kepada pilotnya yang "gugur".

Pembom Tu-16 SELAMAT - Walau pesawatnya sampai terbelah tiga Suwandi (kedua dari kiri) masih selamat./Foto: Dok.Suwandi

Setelah memberi hormat secukupnya, dalam kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di Solo. "Kita ditinggal begitu saja," papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung pesawat lewat pecahan yang menganga.

Dalam kecelakaan malam itu, dua orang langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor. Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf) kemaluannya. "Oh... masih ada," tuturnya sambil tertawa.

Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar. Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur. Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.

Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi. Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. "Ajaib, sulit dipercaya," papar Suwandi.

Penerbang pertama DI RUSIA - Suwandi (pertama dari kiri) di Rusia bersama crew dan instrukturnya./Foto: Dok.Suwandi

20 mesin

Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi. Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di atas Kuala Lumpur. "Leo yang memerintahkan, dia juga ikut," aku Suwandi. Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu, langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!

Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri "jalan" ke Medan hingga mendarat dengan selamat.

Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence, surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan. Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke arah barat. Tak jarang pula, mereka "bermain" hingga mencapai Pulau Andaman sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.

Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI.

Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. "Dalam setahun paling hanya 12 kali terbang," jelas Suwandi

Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda (Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. "Saat itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada," jelas Subagyo.

Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625. Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.

M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian 4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang menerima uang wing.

Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan, pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat. Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.

Lalu apa? "Sejak hari itu, semua Tu-16 saya grounded," kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. "Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky- van-Red)," tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa "penunggu"

MiG-21 Fishbed AURI-Akhir Tragis Sang Legenda




Walau tidak sempat mempertunjukkan kebolehannya, harus diakui, daya gertak pesawat Rusia satu ini, memang hebat. Amerika, konon, sampai menghimbau Belanda untuk membatalkan niatnya perang terbuka dengan Indonesia.

Begini ceritanya. Ketika Presiden Soekarno menyatakan perang terbuka dengan Belanda awal tahun 1960, semua unsur kekuatan disiagakan. AURI sampai detik itu sudah memiliki 49 MiG-17 Fresco. Setengah dari kekuatan sudah bercokol di Morotai, Amahai, dan Letfuan. Ada juga P-51 Mustang, Il-28 Beagle, B-25 Mitchell, B-26 Invader, C-47 Dakota serta C-130 Hercules. Belanda masih garang sampai detik ini. Boleh jadi, karena kapal induk Karel Doorman sudah membuang jangkar di Biak sejak tanggal 6 Agustus 1960.

Hingga suatu hari, sebuah pesawat intai AU AS Lockheed U-2 Dragon Lady melayang di atas Madiun. Selama konfrontasi, sering pesawat ini sengaja diterbangkan dari Darwin ke Filipina untuk misi-misi intelijen. Dari ketinggian 70.000 kaki, teridentifikasi oleh pilot beserta kru deretan jet tempur dan pembom. Ditiliknya dengan cermat. Tak salah lagi, sang pilot yakin bahwa pesawat yang dilihatnya adalah pembom Tu-16 Badger dan MiG-21F Fishbed C (sebutan yang diberikan NATO), jet tempur penghadang (intercept) paling ditakuti barat kala itu. Sebelumnya, intelijen AS sudah mengendus kedatangan MiG-21 di Indonesia.

Hasil pengintaian ini bergegas disampaikan Amerika kepada Belanda. “Percuma melawan Indonesia, mereka punya ini.” Begitu kira-kira laporan intel AS kepada pihak Belanda sambil menyodorkan foto hasil jepretan pesawat U-2. Amerika pun sebenarnya masih gamang, mengingat F-4E Phantom yang baru dimodifikasi, masih meragukan untuk diadu berlaga melawan MiG-21. Seriusnya ancaman MiG-21 terhadap pesawat tempur AS, sampai membuat AL AS mendirikan sekolah elit tempur Top Gun.

Begitu cerita Marsda (Pur) Jahman, penerbang MiG-21 AURI. Menurut Jahman (65), Indonesia membeli MiG-21 sebagai tindakan bela diri andaikata Belanda mendatangkan pesawat-pesawat yang lebih modern. Ketika kampanye Trikora dicanangkan, AU Belanda memiliki satu skadron pesawat Hawker Hunter F.6 buatan Inggris tahun 1954. Disejajarkan dengan MiG-21, pesawat ini jelas bukan tandingan. Kecepatan maksimumnya hanya 1.117 km/jam, daya capai ketinggian 14.325 meter dengan jangkauan 690 kilometer. Kalau terbang rendah, pemakaian bahan bakarnya akan bertambah boros. Sementara MiG-21, dengan kecepatan Mach-2,1 mampu mencegat pembom pada ketinggian 20 kilometer pada jarak 1.800 kilometer.
Terbang perdana


Sebagai persiapan menyambut kedatangan si “pencegat”, AURI telah menyiapkan dua jalur pembentukan penerbang MiG-21. Yang pertama, dengan cara mengirimkan langsung empat penerbangnya ke Uni Soviet. Yaitu Kapten Udara Sukardi, Letnan Udara I Jahman, Letnan Udara II Igon Suganda, dan Letnan Udara II Mundung dua penerbang terakhir di-grounded setibanya di Rusia. Mundung didera sakit, sedangkan Suganda terlalu kecil. Pressure suit nomor kecilpun, masih terlalu besar untuknya. Karena itu kemudian diganti dengan Letnan Udara I Sobirin Misbach dan Letnan Udara I Saputro.

Langkah kedua, sebaliknya, di dalam negeri. Mayor Udara Rusman ditunjuk Komodor Udara Leo Wattimena untuk mendapatkan pelatihan langsung dari instruktur yang sengaja didatangkan dari Rusia. “Jadi kita dilatih hampir bersamaan. Hanya beda tempat,” tutur Marsda (Pur) Rusman.

Tim kecil yang dikirim ke Uni Soviet, persisnya di Lugowaya, sebuah kota kecil yang berbatasan langsung dengan India di mana sebuah pangkalan AU Uni Soviet bercokol, pun tidak berlama-lama di negeri tirai besi itu. Hanya empat bulan, “Sekadar just to know how to fly,” jelas Jahman. “Bukan berarti tidak terbang, tetap terbang, kita solo,” tambahnya.

Ketika mendapat perintah berangkat ke Rusia, Jahman baru beberapa bulan standby di Letfuan, setelah sebelumnya siaga di Morotai dalam mendukung kampanye Trikora. Menurut Jahman, kepindahannya ke Letfuan menyusul gugurnya Kapten Udara Gunadi setelah pesawat MiG-17 yang diterbangkannya gagal take off karena afterburner-nya tidak maksimal. Tragedi itu terjadi tanggal 29 Juni 1962. Komandan skadron MiG-17 saat itu dijabat Mayor Rusman.

Bagi yang berangkat ke Rusia mungkin tidak terlalu kesulitan, karena langsung ke asalnya. Lain halnya Rusman. “Saya harus melabeli dulu dengan bahasa Inggris semua panel-panel di kokpit, yang sebelumnya berbahasa Rusia,” aku Rusman. Setibanya di Indonesia, pesawat MiG-21 langsung dirakit. Para teknisi Rusia segera membimbing teknisi Indonesia. Rusman pun mulai mempersiapkan diri. Perang yang tidak ketahuan kapan akan berkecamuk di Papua Barat, terpaksa ditinggalkannya. Rencananya, tentu Rusman akan dikembalikan ke medan perang seandainya Belanda benar-benar serius untuk perang.

Disamping perwira senior di skadron fighter, Rusman juga menjabat perwira operasi Skadron Udara 11 DH-115 Vampire, jet latih pertama Indonesia. Tak salah, melihat keseniorannya, Leo mempercayainya sebagai orang pertama yang menerbangkan MiG-21 di dalam negeri. Kebetulan, Leo juga harus ke luar negeri. Rusman tidak terlalu kesulitan untuk mengakrabkan diri dengan MiG-21, mengingat ratusan jam terbang sudah dikantonginya dari MiG-15 dan MiG-17. “Pada dasarnya tidak jauh beda dengan MiG-17,” kata Rusman perihal pesawat bersayap delta ini.

Program kilat dimulai. Buku manual MiG-21 dilahapnya, para instruktur Rusia dengan tekun menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Pesawat rampung dirakit teknisi dan dinyatakan ready to fly. Tibalah Rusman pada saat yang menentukan, yaitu menerbangkan pesawat yang disebut sebagai roket terbang di hadapan beberapa pejabat penting yang, katanya, mau hadir. “Secara teoritis saya sudah paham,” aku Rusman.

Pagi itu, Juli 1962, segala persiapan dilakukan di Bandara Kemayoran. Sebagian dari MiG-17 dan MiG-15 yang berpangkalan di Kemayoran, terlihat berjejer di pelataran parkir. Benar saja, KSAU Laksamana Suryadarma dan beberapa pejabat teras AURI sudah terlihat hadir. Di hanggar, sebuah mesin turbojet Tumansky R-11-F2-300 mulai memekakkan telinga. Pesawat siap bergerak ke landasan pacu. Tidak ada perasaan janggal bagi Rusman, sama seperti menerbangkan pesawat Rusia terdahulu. Di ujung landasan, gemuruh mesin jet berdaya dorong 5.950 kilogram meninggi. Itulah tenaga penuh karya spektakuler biro disain Mikoyan-Gurevich (OKB).

Rusman mencelat meninggalkan tanah, menanjak, meninggalkan hadirin dengan tepuk tangannya yang riuh rendah. Menurut rute yang di-plot, pesawat akan belok ke kiri. Rusman menyentakkan tangkai kemudi (handle) ke kiri. Astaga, dia kaget, pesawat melintir kencang. Tak dikiranya akan begitu sensitif. Tapi kesadarannya cepat muncul. “Ya sudah, saya putar saja sekalian sampai empat kali,” katanya tertawa. Setelah mendarat, didapatinya ucapan selamat dan decak kagum. Hadirin takjub melihat Rusman yang sanggup membuat roll sampai beberapa kali. “Mereka nggak tahu kagetnya saya.”

eberapa hari kemudian, jelas Rusman, Skadron 14 berkekuatan 20 MiG-21 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi, Madiun, diresmikan KSAU di Bandara Kemayoran. Rusman langsung ditunjuk sebagai komandan. Sebelumnya sudah diresmikan Skadron 11 MiG-15/17. Sedangkan Skadron 12 MiG-19, justru dibentuk belakangan. Kemudian dibentuk pula Wing 300, induk skadron-skadron tempur yang bermarkas di Kemayoran. Rusman ditunjuk sebagai komandan Wing 300 dari tahun 1963 sampai 1966.

Penerbangan pertama diikuti beberapa penerbang berikutnya. Menyusul transisi penerbang. Nun, ribuan kilometer di utara, Jahman beserta ketiga rekannya juga mulai menerbangkan pesawat yang sama. Nantinya, setelah kembali dari Lugowaya (1963), keempat penerbang ini bersama Rusman menjadi instruktur pesawat yang mulai dipakai Uni Soviet tahun 1959 dan dipertahankan di garis terdepan pertahanan selama 30 tahun. Target utama AURI yaitu, mempercepat alih teknologi dari penerbang Rusia ke Indonesia.
Seruduk hutan jati

Seorang komandan harus lebih dulu tahu segalanya dari anak buah. Filosofi ini dipegang Rusman sebagai komandan skadron. Penguasaan menerbangkan MiG-21 terus dilakukannya baik melalui petunjuk buku manual maupun dari instruktur. Satu hari, sebulan setelah terbang perdana, Rusman terbang seorang diri dalam sebuah misi untuk menguji kemampuan high speed pesawat. Pagi itu, 29 Agustus 1962, pemilik 1.500 jam terbang MiG-21 ini bertolak dari Madiun dengan rute seputaran Jawa Timur (baca: Rusman Tembus Mach-2).

“Yang mengejutkan saya saat harus terbang high speed adalah, bahwa pesawat ini ternyata lebih cepat dari pikiran saya,” kata si “Hell Cat”, panggilan Rusman di udara. Persis seperti yang dirasakan Rusman, kehebatan inilah yang diunggulkan Soviet untuk menahan laju pembom B-52 Stratofortress AU AS yang kecepatan mendekati Mach-1. Bagi Indonesia hampir serupa. Menahan ancaman pembom negara-negara musuh menjadi tugas utama MiG-21. “Kita harus sanggup mengintersep pada titik dimana mereka bisa merilis bom,” jelas Jahman, mantan Danlanud Iswahyudi itu.

Untuk mendukung akselerasinya secepat mungkin mencegat pembom, MiG-21 dilengkapi afterburner. Malasalahnya, kadangkala afterburnernya tidak berfungsi dengan baik saat pesawat tengah menggandul sebuah bom konvensional “jatuh bebas” seberat 500 kilogram. Kesalahan teknis ini sempat merenggut nyawa beberapa penerbang MiG-21. Seperti pada satu ketika, tepatnya hari Kamis, saat dilangsungkan latihan terbang tinggi di Madiun.

Seorang penerbang, ingat Rusman, gagal lepas landas, karena tenaga tambahannya tidak bekerja sempurna. Pesawatnya terus merambat cepat di permukaan landasan, baru hidung yang terangkat. Anak muda ini terus berusaha, dihidupkannya lagi. Dia sadar, ujung landasan sekian detik lagi habis. Tanpa pikir panjang, ditariknya kursi pelontar (ejection seat) bermaksud bail out. Pesawat tercebur masuk sungai di ujung landasan.

Sulit berpikir jernih kala terjepit. Mungkin itu yang dialami anak muda ini. Dalam kepanikkannya, ditariknya kursi pelontar yang jelas tidak menerapkan teknologi zero ejection seat baru aktif pada ketinggian 1.000 kaki. Pemuda berkemauan besar itu menghembuskan napas terakhir. “Padahal dia sudah minta izin pada saya, usai terbang akan ke Yogya untuk melangsungkan pertunanganan pada hari Sabtu,” kenang Rusman. Sebelumnya, di hari Selasa, kecelakaan juga menimpa seorang penerbang. Sebuah pesawat jatuh di hutan jati, daerah Cepu, dalam sebuah latihan terbang malam. Pesawat menyambar pohon jati sepanjang satu kilometer.

Seorang penerbang lainnya juga membuat kekeliruan saat akan mendarat. Padahal, aku Rusman, dia sudah memberitahu kalau mengurangi kecepatan dari high speed, intake-nya akan membuka. Proses ini akan menimbulkan getaran. Celakanya, karena kaget, dia langsung eject. Penerbangnya sih, selamat, tapi pesawatnya hancur.

Rusman sendiri juga nyaris celaka gara-gara afterburner, ketika berangkat dari Kemayoran ke Madiun. Ketenangan serta segudang pengalaman, menjadi sangat mahal dalam kondisi ini. Rusman sangat sadar, kecepatan pesawat saat itu hanya pas untuk melayang. Salah handling sedikit saja, fatal. Sayapnya yang teramat tipis, hampir tidak bisa diharapkan memberikan daya angkat besar. Pesawat melayang persis di atas atap rumah penduduk.

Walau sangat cepat, pesawat pencegat MiG-21 tidak bisa diharapkan mengerjakan tugas-tugas strategis. Kemampuannya hanya untuk mengangkasa dengan cepat, terbang cepat, kombat, dan pulang! Endurance-nya kecil.

Menyadari keterbatasan pesawat, sementara wilayah Indonesia teramat luas untuk dipertahankan dan dijangkau MiG-21. Namun rasa bela negara, terlalu besar untuk dikalahkan oleh keterbatasan pesawat. Sebagai uji coba, Rusman terbang keliling Jawa Timur. Ternyata pesawatnya hanya mampu terbang 1 jam 40 menit. “Itupun sudah dengan drop tank dan teknik terbang yang irit,” katanya.

Satu jam 40 menit. Apa yang bisa dijangkau dari Jakarta? Mulailah mereka menghitung. Medan bisa! “Tapi tidak bisa pulang,” jawab Rusman. Bagaimana kalau cuaca buruk, tiba-tiba engine trouble, atau ada gangguan di landasan? Padahal terbangnya harus lurus, tidak ada toleransi “belok kiri-kanan”. Waktu tempuh Kemayoran-Medan sekitar 1 jam 30 menit. Artinya, hanya tersisa 10 menit untuk keadaan darurat. Berbagai pertanyaan bergalau dibenak Rusman. Namun dia sudah memutuskan, pulau-pulau besar di luar Jawa harus didarati.

Medan akhirnya dikunjungi. Kurang puas, Rusman, Sukardi, dan Ibnu Subroto, melakukan terbang cross country melintas Sumatera pada tahun 1963. Dengan mengambil rute Kemayoran-Palembang-Medan-
Padang-Kemayoran, ketiga pencegat menyambar-nyambar di setiap daerah yang disinggahi. Mereka juga menginap di ketiga kota yang didarati. Sambutan masyarakat begitu antusias.

Sukses rupanya. Karena itu, perjalanan dilanjutkan ke Indonesia bagian timur setahun kemudian. Kali ini lebih banyak, melibatkan enam pesawat. Rute yang diambil : Madiun-Makasar-Morotai-Biak. Dalam jumlah besar, MiG-21 pernah melakukan formasi sembilan pesawat. Cross country ini dilakukan bukan untuk unjuk kekuatan AURI, “Tapi untuk meningkatkan skill, dan orientasi daerah bagi penerbang,” jelas Rusman lagi.

Ketika konfrontasi dengan Malaysia yang dikenal dengan kampanye Dwikora, Indonesia menyiagakan pembom Tu-16 dan MiG-21. Karena jangkauannya yang kecil, pesawat harus ditempatkan di Palembang dan Medan. Selama pengabdiannya di AURI, memang tidak ada pengalaman perang udara hebat yang ditinggalkan MiG-21 bagi generasi berikutnya. Selama Dwikorapun, hanya beberapa kali berpapasan dengan pesawat Hawker Hunter atau HS Buccaneer Inggris saat mengawal Tu-16.

Leo Wattimena sendiri memang tidak menghendaki adanya duel udara di antara kedua belah pihak. “Kecuali ditembak,” perintah Leo. Namun begitu, dua rudal K-13A atau NATO menyebutnya AA-2 Atoll dan kanon 30 mm, tetap disiagakan. Biarpun dilarang bertindak provokasi, ada saja beberapa penerbang yang berbuat iseng. Maksudnya hanya ingin melihat kesiapan radar lawan.

Dengan airborne dari Medan, pesawat terbang low level menyusuri selat Malaka. Begitu menjelang perbatasan, tower akan berteriak memberitahu ada pesawat naik dari Butterworth. “Kita langsung pull up, kabur,” jelas Jahman yang menjabat komandan Skadron 14 setelah Rusman. Saat pesawat Inggris tiba di perbatasan, MiG-21 AURI sudah terbang jauh. “Kita (MiG-21) memang tidak pernah perang. Sebagai pencegat, kita hanya menunggu lawan yang tidak pernah jelas. Itulah tugas kita, menunggu dan menunggu,” tutur Jahman yang menerbangkan MiG-21 nomor 2164.

Bagi Rusman maupun Jahman, agak kelam nasib MiG-21 pasca “pemberontakan yang gagal” oleh komunis Indonesia. Kedua penerbang MiG generasi pertama ini, kurang begitu tahu apakah betul MiG-21 di jual. Lain halnya dengan MiG-19. “Saya sendiri yang mengantarkan ke Pakistan, sekalian melatih penerbangnya,” aku Rusman. Soal pembelian MiG-19, ditambahkan Jahman, terpaksa dibeli Indonesia ulah politik dagang Rusia. Soalnya, sepengetahuan Jahman, Rusia hanya bersedia melepas MiG-21 asalkan MiG-19-nya juga dibeli.

Menurut polemik yang beredar saat itu, Indonesia memberikan MiG-19 kepada Pakistan karena merasa dikerjain. Gosip yang beredar seperti diceritakan Jahman, satu ketika Pakistan memberi pesawat angkut yang ternyata bobrok. Ketahuannya, sejak mendarat pesawat sumbangan ini tidak pernah diterbangkan lagi. Dari karakteristik pesawat yang diceritakan Jahman, sepertinya pesawat dimaksud adalah Lockheed Constellation. Itulah sebabnya, MiG-19 diberikan kepada Pakistan. Kondisi MiG-19 sebenarnya tidak terlalu baik. Pesawatnya selalu tidak siap untuk diterbangkan. “Padahal teknisi sudah menyatakan bagus. Begitu kita hidupkan, selalu ada saja yang tidak benar,” aku Jahman.

Namun yang jelas, bagi Pakistan yang tengah terlibat perang dengan India, jelas berharga. Selain Indonesia, Cina juga menyumbangkan pesawat yang sama. Niat hatinya, Pakistan sebenarnya ingin meminjam pembom Tu-16 AURI yang dipersenjatai rudal AS 1 Kennel, tapi ditolak Men/Pangau Omar Dhani.

“Saya tidak tahu apakah betul dijual dan kemana. Kalau benar, palingan itu urusan orang-orang gede,” kilah Rusman yang selalu menerbangkan pesawat MiG-21 bernomor 2160 dan 2170 tersenyum kecut. “Pesawat itu hebat sekali,” tutur Rusman berkali-kali, seperti tidak puas memuji kehebatan sang pencegat. MiG-21 AURI mengakhiri zaman keemasannya setelah farewell flight sebulan penuh, pada tahun 1967

P-51 Mustang


P-51 Mustang adalah pesawat petarung jarak jauh buatan Amerika Serikat. Pesawat ini menjadi salah satu pesawat tempur terbaik pada perang dunia II. Mustang menjadi satu-satunya pesawat petarung yang mampu mencapai Berlin, baik untuk melangsungkan serangan mandiri maupun untuk mengawal pesawat pengebom yang akan menjatuhkan bom di Berlin.

[sunting] Sejarah

Inggris yang sedang terlibat perang di Eropa membutuhkan sebuah pesawat yang mampu mencapai Jerman dan mengawal pengebom yang setiap saat jatuh di tembak pesawat petarung Jerman, maka dibuatlah pesawat oleh North American untuk memenuhi kebutuhan ini, untuk mesinnya dipasang mesin Rolls Royce buatan Inggris. Pesawat yang tercipta mempunyai kelemahan pada kelincahan di ketinggian maksimum, maka ditambahkanlah turbo charger pada mesinnya. Hasilnya adalah sebuah pesawat yang handal untuk perang jarak jauh, dan menjadi legenda.

Mustang diproduksi ribuan dan digunakan oleh banyak angkatan udara, termasuk Indonesia. Indonesia menerima Mustang sebagai hibah dari Belanda, ironisnya Mustang juga digunakan Indonesia melawan Belanda dan sekutunya dikemudian hari. Karena gambar mulut menganga berwarna merah di ujung pesawat, pesawat di gambar ini populer dengan julukan "si cocor merah".


B-29 Superfortress


Boeing B-29 Superfortress adalah pesawat pengebom berat dengan 4 mesin yang digunakan oleh United States Army Air Forces dalam Perang Dunia II, dan oleh militer di negara lain setelah itu. Nama "Superfortress" berasal dari model pendahulunya B-17 Flying Fortress.

B-29 Boeing Model 345[1] adalah salah satu pesawat terbesar yang berdinas selama PD II. Pesawat ini merupakan pesawat pengebom paling canggih pada masanya. Pesawat ini digunakan dalam pengeboman atas Kekaisaran Jepang dalam bulan terakhir PD II, Enola Gay membawa bom atom yang dijatuhkan dan menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. B-29 tetap berdinas lama setelah perang selesai. Dari saat purna tugasnya pada tahun 1960-an, sekitar 3.900 pesawat telah dibangun.